TOPRILIS.COM, JAKARTA - Komisi X DPR RI mendesak pemerintah menerbitkan kebijakan penghapusan status guru honorer pada akhir 2025 dan memastikan tidak menciptakan ketidakpastian hingga kerentanan baru bagi para pendidik.
Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menegaskan bahwa Hari Guru Nasional bukanlah sekadar seremoni, tetapi panggilan moral melindungi profesi guru beserta mewujudkan kesejahteraan guru dalam kebijakan nyata.
"Pada Hari Guru Nasional ini, pemerintah harus menunjukkan penghormatan nyata kepada guru, pastikan masa depan mereka terjamin. Reformasi kepegawaian harus menjadi revolusi kesejahteraan guru, bukan beban baru," kata Hetifah dalam keterangan di Jakarta, Selasa (25/11).
Hetifah menjelaskan bahwa guru yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri harus diprioritaskan dalam proses penataan, baik melalui pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) maupun seleksi terbuka yang adil dan tidak diskriminatif.
"Tidak boleh lagi pengabdian belasan tahun menjadi alasan tertunda tanpa kepastian," katanya.
Penghapusan status tersebut, sebut Hetifah, tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan hak.
Menurutnya, kebijakan baru nanti wajib menetapkan penghasilan yang layak, tunjangan tetap, jaminan sosial serta perlindungan hukum.
"Ini bukan bonus, ini hak dasar", ucapnya.
Adapun, Hetifah menyoroti kasus status guru sekolah umum dan madrasah dalam regulasi yang berbeda.
Dia menekankan perlunya koordinasi erat antara Kementerian Agama, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), pemerintah daerah, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak ada guru yang telantar.
"Jangan sampai reformasi kepegawaian justru menciptakan dua kecepatan, satu guru yang diuntungkan, yang lain tertinggal," ucapnya.
Status guru non-ASN atau honorer, kata Hetifah, akan berakhir di akhir 2025 sebagaimana amanat UU ASN, aturan turunan hingga Surat Edaran KemenPANRB.
Seluruh guru non-ASN, berhak masuk skema PPPK sesuai persyaratan yang berlaku.
Proses skema PPPK Paruh Waktu bagi honorer yang belum terakomodasi, kata Hetifah, saat ini masih menunggu terbitnya ketentuan teknis resmi dari Kementerian PANRB dan BKN.
Keterlambatan regulasi tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi guru honorer di daerah.
Oleh karena itu, ia menggarisbawahi pemerintah daerah tetap dapat mengusulkan kebutuhan tenaga guru melalui formasi instansional masing-masing pemda kepada Kementerian PANRB, apabila formasi nasional belum dibuka.
Hal itu diperuntukkan untuk menghindari kekosongan layanan pendidikan, terutama di daerah.
Menurut Hetifah, mekanisme itu penting agar sekolah tetap terpenuhi kebutuhan gurunya tanpa menyalahi ketentuan kepegawaian yang berlaku.
Hetifah menegaskan bahwa ketentuan status guru honorer bukan masalah administratif belaka.
Dia juga menambahkan pendidikan guru bukanlah investasi, melainkan melaksanakan prinsip keadilan sosial hingga menegakkan kedaulatan pendidikan nasional.
"Jika kebijakan ini gagal, kita (DPR dan pemerintah) mengirim pesan bahwa pengabdian guru bukanlah investasi bangsa, melainkan beban yang bisa dicabut kapan saja.”
“Kita berbicara tentang ribuan guru yang mempertaruhkan kehidupan mereka demi generasi bangsa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka adalah prioritas, bukan pelengkap anggaran," tambahnya.
DPR RI, ucap Hetifah, akan memastikan terus penggunaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk mengawal transisi ini berjalan adil, manusiawi, serta sesuai amanat undang-undang.
"Kita menegaskan bahwa penghargaan terhadap guru harus diterjemahkan dalam regulasi, anggaran, dan tindakan nyata," ujarnya. (jpnn.com/elh)
Tags
Politika
