Gerak, Budaya, dan Bumi


Oleh: Muhammad Sultan Almalik, S.Pd.
Mahasiswa Magister Pendidikan Jasmani, Universitas Lambung Mangkurat


PENDIDIKAN jasmani sering kali dianggap pelengkap. Banyak yang memandangnya sebatas pelajaran olahraga aktivitas fisik untuk menyehatkan tubuh dan bahkan dipandang sebagai mata pelajaran bermain saja, bukan ruang belajar nilai-nilai kehidupan.

Padahal, di balik setiap gerak, tersimpan makna yang jauh lebih dalam tentang disiplin, kerja sama, budaya, hingga kesadaran terhadap bumi tempat kita berpijak.

Di Kalimantan Selatan, tantangan itu terasa nyata khususnya di daerah lahan basah yang sering tergenang air membuat pelaksanaan PJOK tidak semudah di wilayah lain.

Saat hujan turun dan lapangan berubah jadi kolam, banyak guru memilih menghentikan kegiatan jasmani. Namun, guru yang kreatif tahu bahwa ruang gerak tidak selalu butuh lapangan. Kelas pun bisa jadi arena olahraga.

Meja, kursi, atau bahkan sapu bisa berubah fungsi asal ada semangat untuk bergerak.
Aktivitas sederhana seperti naik-turun kursi, lompat di tempat, atau meniru gerak binatang bisa menjadi sarana melatih kebugaran sekaligus kerja sama.

Di beberapa sekolah, pendekatan seperti ini sudah mulai diterapkan. Guru memanfaatkan media digital dengan menayangkan video latihan, animasi gerak, atau panduan senam di layar proyektor. Hasilnya? Anak-anak tetap aktif meski cuaca tak bersahabat. Mereka belajar bahwa olahraga bukan soal tempat, tapi soal niat dan kreativitas.

Lebih dari sekadar aktivitas fisik, PJOK juga bisa menjadi jembatan budaya. Di tengah derasnya arus digital, permainan tradisional mulai terlupakan. Padahal, permainan seperti balogo, bagasing, atau hadang menyimpan filosofi sosial yang dalam.

Ia mengajarkan sportivitas, kesederhanaan, dan kebersamaan. Guru PJOK bisa menghidupkan lagi permainan itu di sekolah, dengan sedikit modifikasi agar cocok dimainkan di ruang terbatas.

Bayangkan anak-anak bermain balogo mini menggunakan tutup botol dan papan sederhana. Mereka tertawa, berstrategi, dan belajar menghargai giliran. Dari permainan sesederhana itu, muncul pelajaran besar tentang etika, budaya, dan identitas. PJOK bukan lagi sekadar “pelajaran olahraga”, tetapi ruang untuk merawat warisan lokal.

Namun, di masa kini, PJOK juga punya peran lain yang tak kalah penting yaitu menumbuhkan kesadaran ekologis. Saat isu perubahan iklim makin nyata, pembelajaran jasmani bisa jadi sarana menanamkan rasa peduli lingkungan.

Contohnya, kegiatan seperti senam sungai bersihjalan sehat sambil menanam pohon, atau pungut sampah sambil berolahraga. Gerak tubuh jadi lebih bermakna ketika diiringi niat menjaga alam.

Sekolah di lahan basah justru punya potensi besar untuk menerapkan konsep ini. Lingkungan rawa dan sungai bisa dijadikan “laboratorium alam”. Guru PJOK dapat mengajak siswa berjalan menyusuri tepian sungai sambil mengamati kondisi air atau mengumpulkan sampah ringan. Aktivitas sederhana yang menyehatkan tubuh sekaligus membangunkan kesadaran bahwa bumi harus dijaga bersama.

Ketika anak berolahraga sambil memahami makna ekologis, mereka tidak hanya melatih otot, tapi juga empati. Mereka belajar bahwa kesehatan diri tak akan berarti jika bumi sakit. Inilah pendidikan jasmani yang seharusnya: membentuk manusia yang bukan hanya kuat, tapi juga bijak terhadap alam.

Sayangnya, PJOK masih sering dipinggirkan. Nilainya jarang dianggap sepenting pelajaran akademik lain. Padahal, dalam konteks pendidikan berkelanjutan, justru di sinilah tempat nilai-nilai dasar kehidupan diajarkan disiplin, tanggung jawab, empati, dan kerja sama. Semua hal yang dibutuhkan untuk membangun manusia yang utuh.

Teknologi bisa membantu memperkuat peran itu. Tak perlu canggih atau mahal cukup laptop, proyektor, dan koneksi internet. Anak-anak belajar sambil bergerak dan berinteraksi, tanpa harus keluar ruangan. Teknologi bukan pengganti nilai-nilai budaya, tapi jembatan agar nilai itu tetap hidup dan relevan di zaman digital.

Gerak di kelas juga membawa manfaat memperbaiki suasana belajar. Beberapa menit peregangan atau latihan ringan bisa meningkatkan konsentrasi dan mengurangi stres. Kelas yang aktif membuat siswa lebih siap menghadapi pelajaran berikutnya. Tubuh yang bergerak ternyata bisa membantu otak berpikir lebih jernih.

Gerak juga punya makna spiritual yaitu ketika seseorang bergerak dengan kesadaran menyelaraskan napas, ritme, dan niat maka ia sesungguhnya sedang mensyukuri hidup. Di ruang kelas yang sederhana, di tengah genangan air atau cuaca yang tak menentu, anak-anak bisa belajar rasa syukur lewat tubuh mereka sendiri.

Pendidikan jasmani yang berpijak pada budaya dan bumi adalah bentuk pendidikan paling manusiawi. Ia tidak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga menumbuhkan jiwa yang peduli. Guru PJOK punya peran besar, bukan sekadar pengajar olahraga, tapi juga penjaga nilai, pelestari budaya dan lingkungan.

Ke depan, sudah waktunya PJOK dipandang sebagai bagian penting dari pendidikan berkelanjutan. Di sanalah tubuh, budaya, dan bumi bertemu. Setiap gerak adalah pelajaran tentang keseimbangan. Setiap aktivitas jasmani adalah bentuk kasih terhadap kehidupan.

Dari ruang kelas sederhana, di antara meja dan kursi, gerak kecil bisa melahirkan perubahan besar. Sebab dari sanalah anak-anak belajar satu hal penting yaitu hidup harus terus bergerak, dan setiap gerak adalah tanggung jawab.(*)
 
IDENTITAS PENULIS:
Nama            : Muhammad Sultan Almalik, S.Pd - Mahasiswa Magister Pendidikan Jasmani, Universitas Lambung Mangkurat
Email            : 2520129310004@mhs.ulm.ac.id
Nomor HP    : 081528242680

Muhammad Elhami

“sesobek catatan di antara perjalanan meraih yang kekal dan memaknai kesementaraan; semacam solilokui untuk saling mengingatkan, saling menguatkan, berbagi keresahan dan kegetiran, keindahan dan kebahagiaan, agar hidup menjadi cukup berharga untuk tidak begitu saja dilewatkan”

Lebih baru Lebih lama