![]() |
FOTO BERSAMA: Kehadiran para volunteer saat menerapkan inovasi Megu Sari di SDK Raranum - Foto Istimewa. |
TOPRILIS.COM, KALSEL - SDK Raranum terletak di kawasan Pegunungan Meratus, tepatnya di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Lokasinya yang berada di wilayah perbukitan dan cukup terpencil menjadikan sekolah ini masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Akses menuju SDK Raranum tidaklah mudah, dibutuhkan perjalanan jauh dengan medan yang cukup menantang, mulai dari jalan yang belum sepenuhnya beraspal hingga jalur yang hanya bisa dilalui dengan kendaraan tertentu atau bahkan berjalan kaki.
Sebagai sekolah dasar yang berada di pelosok, SDK Raranum menghadapi sejumlah tantangan dalam proses pembelajaran. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan tenaga pendidik.
Guru setempat, Norhadiyati Apriani, S.Pd, Jum'at (16/8/2024) mengungkapkan, jumlah guru yang tersedia di SDK Raranum sangat minim dan belum sebanding dengan kebutuhan pendidikan yang ideal. Selain itu, fasilitas penunjang belajar seperti buku, alat peraga, dan teknologi pendidikan masih sangat terbatas.
"Tantangan lainnya adalah jumlah siswa yang tergolong sangat sedikit, terutama pada fase A atau kelas-kelas awal. Hal ini menyebabkan dinamika pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan, di mana satu guru sering kali harus mengajar beberapa tingkatan kelas sekaligus dalam satu ruangan," katanya.
Meski demikian, semangat belajar para siswa dan dedikasi para guru yang mengabdi di SDK Raranum tetap tinggi. Mereka terus berupaya memberikan yang terbaik demi masa depan pendidikan anak-anak di wilayah terpencil ini.
Ia melanjutkan, kurangnya tenaga pendidik menjadi salah satu kendala utama yang menghambat akses siswa di daerah terpencil terhadap pendidikan yang berkualitas.
Hal ini berdampak langsung pada pemahaman siswa yang kurang optimal, karena tidak adanya pendampingan belajar yang memadai secara berkelanjutan. Di SDK Raranum, kondisi ini semakin terasa, terutama saat siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.
"Banyak dari anak-anak lulusan SDK Raranum yang akhirnya tidak dapat menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA atau perguruan tinggi. Sebagian besar dari mereka memilih untuk bekerja serabutan guna membantu perekonomian keluarga, daripada melanjutkan pendidikan formal. Ini menjadi salah satu tantangan serius dalam menciptakan pemerataan pendidikan di wilayah pedalaman," jelasnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, SDK Raranum meluncurkan sebuah inovasi bernama Megu Sari (Menjadi Guru Satu Hari).
Norhadiyati Apriani, S.Pd yang juga sebagai inisiator mengatakan, inovasi ini melibatkan para sukarelawan yang bersedia datang, berbagi pengetahuan, pengalaman, dan motivasi dengan para siswa.
Menurutnya, Megu Sari bukan hanya ditujukan bagi peserta didik SDK Raranum, tetapi juga menyasar masyarakat sekitar terdiri atas dua RT dengan total 15 kepala keluarga, sehingga dampaknya bisa dirasakan secara lebih luas.
"Melalui kehadiran para volunteer, siswa dan warga mendapat wawasan baru yang sebelumnya mungkin sulit diakses. Semakin banyak orang yang berbagi ilmu, maka semakin luas pula manfaat yang dapat dirasakan oleh SDK Raranum," jelasnya.
Sebagai bentuk apresiasi dan rasa terima kasih, SDK Raranum juga mengajak para volunteer untuk mengenal lebih dekat kekayaan alam dan budaya lokal yang ada di wilayah Pegunungan Meratus. Ini bukan hanya menjadi pengalaman mengajar, tapi juga pertukaran budaya dan kepedulian yang saling bersinergi.
"Inovasi Megu Sari merupakan solusi yang ringan namun sangat relevan untuk menjangkau sekolah-sekolah terpencil yang mengalami kekurangan tenaga pendidik. Inovasi ini dirancang agar dapat diterapkan tanpa membebani anggaran, namun tetap memberikan dampak besar bagi proses pembelajaran dan kehidupan masyarakat sekitar," katanya.
Bahkan inovasi Megu Sari bukan hanya mengisi kekosongan tenaga pengajar, tetapi juga membuka ruang partisipasi masyarakat dan berbagai pihak dalam membangun ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan bermakna.
Menurutnya, setelah inovasi Megu Sari diterapkan, terjadi perubahan yang cukup signifikan. Warga sekitar mulai mengenal orang-orang dari luar dengan berbagai latar belakang profesi guru, dokter, polisi, pustakawan, aktivis, hingga mahasiswa.
Melalui sesi tanya jawab dan diskusi langsung, mereka dapat menyampaikan masalah atau kebingungan yang selama ini belum mereka temukan jawabannya.
Lebih dari itu, kehadiran para volunteer tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan bersifat sukarela dan gratis, seperti penyuluhan kesehatan, pelatihan keterampilan dasar, hingga motivasi belajar untuk anak-anak.
"Inovasi ini menjadi jembatan yang membuka wawasan dan harapan baru. Masyarakat kini merasa lebih percaya diri, memiliki aspirasi yang lebih tinggi, dan mulai menyadari bahwa mereka juga memiliki kesempatan yang sama untuk meraih cita-cita, seperti halnya masyarakat di daerah lain," pungkasnya.(rls/elhami)
Tags
INOVDA BALANGAN